Suatu hari, saya berbincang dengan seorang editor majalah. Kami berbicara tentang jurnalisme secara umum, termasuk jurnalisme radio. Dia mengatakan “Apa yang bisa dilihat dari radio? Wartawannya payah-payah. Pertanyaannya sangat tidak berbobot. Pokoknya saya belum melihat ada jurnalisme dalam radio di Indonesia saat ini”. Saya mencoba berargumen, bahwa jurnalisme radio baru muncul beberapa tahun lalu. Wajar jika keadaannya demikian. Soal kualitas, jangankan wartawan radio, wartawan media lainnya juga masih banyak yang amburadul.

Cerita itu hanyalah sebuah pragmen dari besarnya ketidakpercayaan banyak orang terhadap jurnalisme radio di Indonesia. Terutama wartawan cetak atau televisi yang sering mencibir. Ditambah lagi dengan sikap narasumber, yang seringkali menyepelekan wartawan radio. Seorang wartawan radio bercerita kepada saya, “Mas, anggota DPR itu nggak mau diwawancara oleh saya, seorang diri. Dia minta dipanggilkan wartawan lain, terutama dari televisi, atau koran”. Saya bilang, itu biasa. Saya juga sering mengalaminya. Bahkan, banyak narasumber yang menjadi tidak semangat berbicara ketika dia tahu, yang mengulurkan tape recorder adalah seorang wartawan radio. Ya, memang ini sering terjadi pada awal masa reformasi. Tetapi sampai kini, kejadian seperti itu tak jarang terjadi. Ada tugas ganda yang diemban wartawan radio ketika mengejar narasumber. Pertama, dan ini sulit, meminta narasumber agar bersedia diwawancara. Kedua, meyakinkan mereka bahwa untuk berita radio, wawancara harus direkam. Seringkali narasumber takut suaranya direkam, dengan berbagai alasan. Dengan 1001 alasan pula, wartawan radio harus memaksa narasumber untuk mau direkam. Hampir sama dengan televisi, yang juga harus disorot kamera. Bedanya, banyak narasumber yang ngebet masuk televisi. Jarang narasumber yang ngebet suaranya muncul di radio.

Jurnalisme Batu Loncatan

Tidak bisa tidak, untuk menampilkan jurnalisme radio yang sama dengan jurnalisme lainnya, maka peningkatan kualitas sumber daya manusia, menjadi prioritas. Harus diakui, radio seringkali hanyalah sebuah media alternatif di bawah televisi dan cetak. Tetapi dalam beberapa kondisi, radio menjadi media utama. Bahkan menjadi media andalan. Banyak contoh di daerah terpencil, radiolah yang menjadi sarana utama menyebarkan atau mendapatkan informasi. Radio bisa menjangkau wilayah yang mungkin tidak terjangkau televisi dan media cetak. Wilayah seperti itu, masih banyak di negeri ini. Kualitas sumber daya manusia menjadi sorotan editor majalah yang saya ceritakan di awal. Memang sulit menyebutkan wartawan radio di Indonesia yang bisa menjadi contoh. Saya juga kesulitan menyebutkan wartawan radio Indonesia yang berpengalaman dan handal di masa lalu. Mungkin ada dan katanya banyak. Sebut saja Riza Primadi, Toeti Adhitama Darmosugondo atau Maladi dan beberapa lagi. Tapi sebagian besar dari mereka kemudian berkembang dengan media lain, televisi atau cetak. Padahal mungkin wartawan senior itu bisa jadi panutan wartawan junior radio, jika tetap menggeluti dunia radio. Selepas perguruan tinggi, saya menjadikan radio hanya sebagai batu loncatan menuju media lain. Cita-cita saya ingin menjadi wartawan cetak khusus bidang olahraga. Sama sekali tak terpikirkan menjadi wartawan olahraga tapi dengan media radio. Saya sama sekali tidak sengaja terjun ke dunia radio. Dan ternyata, banyak teman yang berpikir atau mengalami nasib serupa. Radio tidak bisa menjadi sandaran hidup. Sesuatu yang kini mulai berubah di benak saya. Makanya, banyak wartawan handal radio yang hengkang ke media lain baik sesuai keinginan sendiri maupun terpaksa. Kebanyakan pindah ke media televisi, karena wartawan radio sudah punya modal suara bagus. Tinggal ditambah dengan kemampuan bahasa Inggris plus wajah menarik, jadilah sebagai jurnalis televisi. Kalaupun ada wartawan handal yang masih setia dengan radio, tetapi yang dituju adalah radio luar negeri. Sehingga kondisi jurnalisme radio di dalam negeri tetap payah. Banyak wartawan radio luar negeri asal Indonesia, tetapi sangat sedikit yang mau berbagi ilmu dengan wartawan radio dalam negeri. Sesuatu yang kini mulai sedikit-sedikit berubah. Biasanya, wartawan radio yang beralih ke media lain, ogah untuk kembali ke dunia radio. Ini juga yang menjadi penyebab mengapa jurnalisme radio kedodoran. Lebih jarang lagi, wartawan media lain yang ngungsi ke radio. Padahal, radio butuh pengembangan. Sedangkan jurnalisme radio perlu pembaharuan. Inovasi hanya muncul dari mereka yang memang sudah terlanjur ‘enak’ di radio. Yang sayangnya, inovasi bukan dalam bidang jurnalismenya tetapi bagaimana menjual radio. Sehingga yang muncul adalah radio yang berisi segala macam inovasi bidang hiburan.

Jurnalisme Radio Butuh Pelatihan

Menilik sejumlah kondisi itu, jurnalisme radio harus mendapatkan transfer ilmu sebanyak mungkin. Harus lebih banyak dibanding media lain, jika ingin mengejar berbagai ketinggalan. Pelatihan yang diselenggarakan berbagai lembaga lumayan banyak sejak era reformasi. Tetapi semuanya terbentur dana. Jika dana dari donor seret, pelatihan pun jadi melempem. Perlu cara lain, bagaimana menularkan ilmu, tanpa biaya yang besar. Masalah lain selama ini, pelatihan seringkali diberikan oleh wartawan radio yang masih bau kencur atau wartawan radio yang kurang pengalaman. Jangankan memberi pelatihan, dilatih saja banyak yang belum. Sehingga, hasil pelatihan tidak maksimal dan tidak ada tindak lanjut setelah selesai pelatihan. Ini harus menjadi pemikiran para insan radio di seluruh Indonesia. Wartawan radio butuh ilmu, butuh pelatihan sebanyak mungkin dan perlu pengalaman. Ah semoga saja, pelatihan wartawan radio semakin banyak. Dan jangan lupa, setiap radio pun seharusnya memberikan inhouse training yang cukup bagi wartawannya. Jangan pernah berhenti untuk belajar, biar kita tidak lagi dipandang sebelah mata oleh wartawan media lain. Dan fungsi kita sebagai penyampai informasi bisa dijalankan dengan lebih baik. Utan Kayu, 16 Februari 2002.

Label: